Powered by Blogger.

Friday, June 7, 2013

Pekerja Anak (Child Labour) dalam Kerangka Hukum HAM Internasional

Dalam kategorisasi hak asasi manusia (HAM), hak pekerja secara umum dipahami mempunyai 2 (dua) makna. Dalam arti luas hak pekerja meliputi serangkaian hak pekerja yang tercakup dalam International Bill of Rights termasuk dalam Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya dan Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik. Sedangkan dalam arti sempit, terkadang ditujukan sebagai hak membentuk serikat pekerja (union rights) dengan fokus perhatian pada hak pekerja secara universal untuk secara kolektif bersuara memperjuangkan kondisi yang layak di mana mereka bekerja.[1] Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik menekankan pengaturan pada dimensi kebebasan berorganisasi, kerja paksa, pekerja anak dan non diskriminasi. Sedangkan Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya menitikberatkan pada pengaturan yang menjamin upah yang layak, jam kerja, dan keselamatan dan kesehatan kerja, dan non-diskriminasi.[2]



Perlindungan anak dari tindakan yang eksploitatif secara eksplisit diatur dalam Pasal 10 ayat (3) Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Pasal ini menyatakan bahwa negara berkewajiban untuk: 



1. melindungi anak-anak dan remaja dari eksploitasi ekonomi dan sosial; 

2. memberikan sanksi hukum apabila mempekerjakan anak-anak dan remaja yang mengakibatkan merugikan moral atau kesehatan, atau yang membahayakan kehidupan dan menghambat perkembangan mereka; 

3. menetapkan batas umur anak yang dipekerjakan, melarang, dan memberikan sanksi hukum apabila mempekerjakan anak di bawah umur dengan imbalan. 



Ketentuan Pasal 10 ayat (3) Kovenan Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya ditegaskan kembali dan dielaborasi lebih jauh dalam KHA. KHA sebagai instrumen Internasional HAM Internasional utama, yang secara spesifik menempatkan anak sebagai subyek hak-hak asasi anak, mengatur perlindungan anak-anak dari situasi dan kondisi yang berpotensi mengeksploitasi dirinya. Pasal 32 ayat (1) KHA menyatakan bahwa: 



Negara- mengakui hak anak untuk dilindungi dari eksploitasi ekonomi dan dari melakukan setiap pekerjaan yang mungkin berbahaya atau mengganggu pendidikan si anak, atau membahayakan kesehatan si anak atau pengembangan fisik, mental, spiritual, moral dan sosialnya. Pasal ini diperkuat kembali melalui ayat (2) yang menetapkan kewajiban negara untuk mengambil mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, sosial dan pendidikan untuk menjamin perlindungan tersebut. 



Terkait dengan implementasi kewajiban negara untuk mengambil langkah-langkah legislatitif maka terdapat 2 (dua) prinsip KHA yang harus dijadikan landasan bagi perumusan ketentuan hukum nasional, yaitu prinsip non diskriminasi dan prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Prinsip non diskriminasi diatur dalam Pasal 2 KHA yang menyatakan bahwa: 



Negara tidak akan melakukan diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau pendapat lain, kewarganegaraan, etnis, atau asal-usul sosial, harta kekayaan, cacat, kelahiran atau status yang lain dari anak atau orang tua anak atau wali hukum anak. 



Prinsip ini semestinya menjadi semangat dalam negara mengimplementasikan kewajiban Pasal 32 KHA dalam pembangunan sistem hukum nasionalnya karena pada kenyataanya mayoritas anak-anak yang tereksploitasi melalui pekerjaanya berasal dari penduduk miskin, etnis minoritas, imigran tidak berdokumen atau kelompok anak yang kurang beruntung lainnya, seperti anak perempuan. Kedua, prinsip yang juga signifikan menjadi landasan pembangunan sistem hukum nasional yang ditujukan untuk menghapus pekerja anak adalah prinsip kepentingan terbaik bagi anak. Prinsip ini diatur dalam Pasal 3 KHA yang menyatakan bahwa: 



Dalam semua tindakan mengenai anak, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial negara atau swasta, pengadilan hukum, penguasa administratif atau badan legislatif, kepentingan-kepentingan terbaik anak harus merupakan pertimbangan utama. 



Semangat prinsip ini semestinya tercermin pada peraturan perundang-undangan yang akan dirumuskan melarang anak-anak melakukan pekerjaan yang dapat membahayakan pendidikannya atau perkembangannya dan menentukan usia minimum anak diperbolehkan bekerja. [3]



Di samping ketentuan di atas, ketentuan-ketentuan lain dari KHA yang mewajibkan negara untuk mencegah anak menjadi pekerja anak sebagai berikut:[4]



1. Pasal 6 yang mewajibkan negara untuk harus menjamin sampai pada jangkauan semaksimum mungkin ketahanan dan perkembangan anak; 

2. Pasal 8 yang mewajibkan negara menghormati hak anak untuk mempertahankan identitasnya, termasuk kewarganegaraan, nama dan hubungan keluarga seperti yang diakui oleh hukum tanpa campur tangan yang tidak sah; 

3. Pasal 9 yang mewajibkan negara menjamin bahwa seorang anak tidak dapat dipisahkan dari orang tuanya, secara bertentangan dengan kemauan mereka; 

4. Pasal 11 yang mewajibkan negara mengambil tindakan-tindakan untuk memerangi perdagangan gelap anak-anak dan tidak dipulangkannya kembali anak-anak yang ada di luar negeri; 

5. Pasal 12 yang mewajibkan negara menjamin anak mampu membentuk pendapatnya sendiri, mengutarakan pendapat dengan bebas dalam semua masalah yang mempengaruhi anak itu; 

6. Pasal 13 yang mewajibkan negara menjamin anak memiliki hak atas kebebasan mengeluarkan pendapat, hak ini mencakup kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan semua macam pemikiran, tanpa memperhatikan perbatasan, baik secara lisan, dalam bentuk tertulis ataupun cetak, dalam bentuk seni, atau melalui media lain apa pun pilihan anak; 

7. Pasal 15 yang mewajibkan negara mengakui hak-hak anak atas kebebasan berhimpun dan kebebasan berkumpul dengan damai; 

8. Pasal 16 yang mewajibkan negara menjamin tidak seorang anak pun dapat dijadikan sasaran dari campur tangan yang sewenang-wenang atau tidak sah terhadap kerahasiaan pribadinya, keluarganya, rumahnya, atau hubungan surat-menyuratnya; 

9. Pasal 18 yang mewajibkan negara menjamin pengakuan prinsip bahwa kedua orang tua mempunyai tanggung jawwab bersama untuk mendewasakan dan perkembangan anak; 

10. Pasal 19 yang mweajibkan negara untuk melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik atau mental, luka-luka atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan alpa, perlakuan buruk atau eksploitasi, termasuk penyalahgunaan seks; 

11. Pasal 24 yang mewajibkan negara untuk mengakui hak anak atas penikmatan standar kesehatan yang paling tinggi; 

12. Pasal 25 yang mewajibkan negara untuk menjamin anak menikmati jaminan keamanan sosial; 

13. Pasal 27 yang mewajibkan negara untuk mengakui hak setiap anak atas suatu standar kehidupan yang memadai bagi perkembanga fisik, mental, spiritual, moral dan sosial anak. 

14. Pasal 28 yang mewajibkan negara untuk menjamin penikmatan hak anak atas pendidikan; 

15. Pasal 31 yang mewajibkan negara untuk menjamin anak dapat beristirahat, bermain, dan menikmati waktu luang; 

16. Pasal 34 yang mewajibkan negara melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual; 

17. Pasal 35 yang mewajibkan negara untuk mencegah penculikan, penjualan atau perdagangan anak-anak untuk tujuan apa pun atau dalam bentuk apa pun; 

18. Pasal 36 yang mewajibkan negara melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi lainnya yang berbahaya untuk setiap segi-segi kesejahteraan si anak. 

19. Pasal 37 yang mewajibkan negara melindungi anak dijadikan sasaran penganiayaan, atau perlakuan kejam yang lain, tidak manusiawi atau hukuman yang menghinakan; 

20. Pasal 38 mewajibkan negara mengambil semua langkah yang tepat untuk menjamin bahwa orang-orang yang belum mencapai umur lima belas tahun tidak mengambil suatu bagian langsung dalam permusuhan. 





Terkait dengan perlindungan anak dari eksploitasi, Burn H. Weston mendefinisikan pekerja anak sebagai; 



suatu pekerjaan yang dilakukan oleh seorang anak yang membahayakan dirinya karena pekerjaan tersebut kasar, eksploitatif, berbahaya, atau situasi lain yang bertentangan dengan kepentingan terbaiknya. 



Sementara ILO mendefinisikan pekerja anak sebagai: 



Aktivitas yang bernilai ekonomis yang dilakukan oleh anak dengan perkecualian anak tersebut telah berusia di atas 12 tahun yang melakukan pekerjaan ringan dan dilakukan hanya beberapa jam setiap minggunya dan anak yang telah berusia di atas 15 tahun yang melakukan pekerjaan yang diklasifikasikan bukan pekerjaan berbahaya.[5]



Mengacu pada definisi ini maka permasalahan pekerja anak merupakan permasalahan HAM apabila pekerjaan yang dilakukan oleh anak tersebut: (i) pekerjaan tersebut membahayakan dirinya; (ii) yang melakukan anak di bawah usia yang diijinkan bekerja; dan (iii) pekerjaan tersebut bertentangan dengan kepentingan terbaik anak. 



Dalam diskusi tematik Komite Hak Anak yang ditujukan untuk membahas eksploitasi ekonomi terhadap anak, Komite mengidentifikasi aktivitas-aktivitas yang oleh hukum harus dilarang, meliputi:[6]


Aktivitas-aktivitas yang membahayakan perkembangan anak atau bertentangan dengan martabat anak; 
Aktivitas-aktivitas yang dikategorikan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia, perdagangan anak atau setiap bentuk penghambaan; 
Aktivitas-aktivitas yang membahayakan pendidikan anak atau merusak kesehatan anak; 
Aktivitas yang mendiskriminasi khususnya kelompok yang rentan dan termarjinal; 
Aktivitas-aktivitas yang dilakukan anak-anak di bawah umur sesuai dengan batas usia minimum anak bekerja yang ditetapkan KHA dan standar ILO; 
Aktivitas-aktivitas yang mempergunakan anak dalam tindakan kriminal termasuk perdagangan narkotika. 



Kemudian Instrumen Hukum HAM Internasional utama yang mengatur hak-hak pekerja antara lain: 


Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, terkait dengan isu sebagai berikut: kesetaraan bagi perempuan untuk memilih pekerjaan (equality in employment and free choice of employment and profession) Pasal 11; dan pemberantasan segala bentuk perdagangan perempuan dan eksploitasi (suppression of all forms of trafficking in women and the exploitation of prostitution of women) Pasal 6; 
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia, terkait dengan tindakan-tindakan yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia, seperti perdagangan terhadap anak dan perempuan, dan penghambaan. 



Sebangun dengan konstruksi di atas, ILO sebagai salah satu badan dari sistem PBB yang mempunyai mandat melindungi pekerja,[7] membuat instrumen Hukum HAM Internasional yang memiliki ruang lingkup spesifik mengatur hak-hak pekerja, yakni standar pekerja internasional (international labour standards).[8] Dalam upaya penghapusan pekerja anak sebelum berlaku KHA, permasalahan pekerja anak oleh ILO belum diatur secara khusus. ILO hanya melakukan kodifikasi hak-hak pekerja sesuai dengan perspektif tradisionalnya yakni untuk memajukan dan melindungi hak-hak pekerja secara general, seperti memajukan kebebasan berorganisasi, memastikan kondisi kerja dan upah yang layak, mencegah diskriminasi, dan membatasi aktivitas yang membahayakan pekerja. Hal ini nampak dalam ketentuan-ketentuan Konvensi ILO yang belum menggunakan terminologi hak anak, seperti: (i) Konvensi ILO No. 29 mengenai Kerja Paksa dan Wajib Kerja (Forced or Compulsory Labor); (ii) Konvensi ILO No. 105 mengenai Penghapusan Kerja Paksa (Abolition of Forced Labour) ; dan (iii) Konvensi ILO No. 138 mengenai Usia Minimum yang Diijinkan untuk Bekerja (Minimum Age for Admission to Employment).[9]



Setelah berlaku KHA, ILO secara khusus mengeluarkan instrumen standar pekerja internasional yang khusus melindungi anak-anak dari pekerjaan yang membahayakan dirinya. Pada 1999 ILO menetapkan Konvensi ILO Nomor 182 tentang Larangan dan Penghapusan Segera Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak (Prohibition and Immediate Elimination of the Worst Forms of Child Labour). Dalam perspektif sejarah HAM, Konvensi ILO Nomor 182 ini merupakan kombinasi HAM generasi pertama yakni hak sipil dan hak politik karena mengatur hak seseorang atas keamanan untuk tidak tereksplotasi menjadi korban perdagangan orang untuk tujuan seksual komersial.[10] Jika dilihat dari tujuannya untuk melarang anak-anak bekerja pada kondisi yang membahayakan karena racun atau substansi yang dapat merusak kesehatan anak maka dapat diartikan sebagai hak atas kesehatan. Hak ini termasuk hak generasi kedua yaitu hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Kemudian dilihat dari konteks evolusi masyarakat industri modern, maka penghapusan bentuk pekerjaan terburuk bagi anak termasuk hak generasi ketiga, yaitu hak solidaritas seperti hak atas perdamaian, hak atas pembangunan, dan hak atas lingkungan yang sehat.[11]



Pekerja anak dalam perspektif KHA dikategorikan sebagai anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus (children in need of special protection/CNSP). Perlindungan khusus tersebut dalam konteks anak-anak yang terlibat dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk melalui upaya penghapusan sampai batas maksimal yaitu anak-anak sama sekali tidak boleh bekerja pada kondisi tersebut (zero growth). Dengan demikian, dalam kerangka perlindungan terhadap pekerja anak, instrumen hukum yang dikeluarkan ILO bersifat: (i) pencegahan agar anak tidak bekerja pada usia terlalu dini; dan (ii) larangan bagi anak-anak untuk terlibat dalam pekerjaan yang membahayakan. Dalam hal ini, terdapat 2 (dua) instrumen yang mengatur permasalahan tersebut, yakni (i) Konvensi ILO No. 138 tentang Usia Minimum Bekerja (Minimum Age Convention, 1973) dan (ii) Konvensi ILO No. 182 tentang Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak (Worst Forms of Child Labour Convention, 1999). 

Konvensi ILO No. 182 ini merupakan salah satu Konvensi Fundamental yang identifikasi Badan Pengatur (Governing Body) ILO yang menetapkan 8 (delapan) Konvensi ILO yang dijadikan sebagai prinsip-prinsip dasar dan Hak-Hak Pekerja, yang mencakup: (i) kebebasan untuk berorganisasi dan pengakuan secara efektif hak untuk berunding secara kolektif; (ii) penghapusan segala bentuk kerja dan wajib kerja; (iii) pengurangan secara efektif pekerja anak; dan (iv) penghapusan diskriminasi dalam pekerjaan dan posisi kerja.[1] Kedelapan Konvensi ILO yang fundamental tersebut meliputi:[2]


Konvensi ILO Nomor 87 tahun 1948 tentang Kebebasan Berorganisasi dan Perlindungan Hak untuk Berorganisasi (Freedom of Association and Protection of the Right to Organise Convention); 
Konvensi ILO Nomor 98 Tahun 1949 tentang Hak untuk Berorganisasi dan Berunding secara Kolektif (Right to Organise and Collective Bargaining Convention); 
Konvensi ILO Nomor 29 Tahun 1930 tentang Konvensi Pekerja Paksa (Forced Labour Convention); 
Konvensi ILO Nomor 105 Tahun 1957 tentang Pengurangan Kerja Paksa (Abolition of Forced Labour Convention); 
Konvensi ILO Nomor 138 Tahun 1973 tentang Usia Minimum (Minimum Age Convention); 
Konvensi ILO Nomor 182 Tahun 1999 tentang Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak (Worst Forms of Child Labour Convention); 
Konvensi ILO Nomor 100 Tahun 1951 tentang Kesetaraan Renumerasi (Equal Remuneration Convention); 
Konvensi ILO Nomor 111 Tahun 1958 tentang Diskriminasi Pekerjaan dan Posisi Kerja (Discrimination Employment and Occupation Convention). 



Sementara menurut Anti-Slavery Internasional, bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak termasuk salah satu bentuk perbudakan anak modern (modern child slavery). Anti-Slavery Internasional mengidentifikasi 7 (tujuh) bentuk perbudakan modern anak yaitu: (i) pekerja yang terjebak utang (bonded labour); (ii) kerja paksa (forced labour); (iii); bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak (worst forms of child labour); (iv) eksploitasi seksual komersial anak (comercial sexsual exploitation of children); (v) perdagangan anak (trafficking); (vi) pernikahan dini dan pernikahan paksa (early and forced marriage); dan perbudakan tradisional (traditional slavery).[3] Di samping itu terdapat satu bentuk perbudakan anak modern, yaitu penghambaan domestik (domestic servitude). Penghambaan domestik ini ditunjukkan dengan fenomena pekerja rumah tangga (PRT) yang didominasi dilakukan oleh anak perempuan dan perempuan.[4]


0 comments:

Post a Comment