Powered by Blogger.
Selamat datang di e-Book Collage berikut adalah artikel terbaru kami

Friday, June 7, 2013

Amandemen Pasal 29 UUD 1945

0 comments
UUD 1945 dikatakan sebagai konstitusi terpendek di dunia, karena isinya hanya memuat 37 pasal. Memang ada beberapa alasan mengapa disusun secara ringkas. Pertama, dimaksudkan agar ia tetap bertahan, mengikuti perkembangan zaman. Fleksibelitas ini dimungkinkan karena yang dianut hanyalah masalah-masalah pokok saja, sementara aturan-aturan operasional ditetapkan melalui undang-undang biasa dan peraturan yang lebih rendah. Kedua, mungkin saja singkatnya UUD 1945 disebabkan terbatasnya waktu yang digunakan untuk menyusun UD tersebut.[1]

Apapun masalahnya sejarah telah menunjukkan bahwa dalam praktek penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, UUD 1945 sebagai konstitusi telah melahirkan pemerintahan yang tidak diharapkan. Dalam UUD 1945 memang telah termuat ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan konstitusi, tetapi dalam prakteknya, sampai sejauh ini UUD 1945 hanya ditempatkan sebagai nilai yang bersifat nominal saja. Padahal, pmerintahan yang konstitusional bukanlah pemerintahan yang sekedar sesuai dengan bunyi pasal-pasal konstitusi, melainkan pemerintahan yang sesuai dengan bunyi konstitusi yang memang menurut esensi-esensi konstitusionalisme.[2] Atas dasar argumen ini, maka dengan momentum reformasi UUD 1945 harus diamandemen, karena ruh dan pelaksanaan konstitusinya jauh dari paham konstitusi itu sendiri. 

Amandemen UUD 1945 ini menjadi peluang bagi perjuangan partai-partai politik Islam untuk memunculkan kembali wacana memasukkan Piagam Jakarta. FPP dan FBB di MPR secara tegas memperjuangkan masalah ini[3] Isu amandemen pasal 29 UUD 1945 dan Piagam jakarta ini menjadi bagian yang kontroversial. 

Praksi PP mengusulkan redaksi pasal 29 UUD 1945 sebagai berikut : (1) negara berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa dengan berkewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya; (2) negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap pendduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya itu. Pada ayat (2) ini kata “kepercayaan” dihilangkan karena di masa lalu, kata-kata itu disalahtafsirkan dan disalahgunakan untuk menumbuhsuburkan aliran kepercayaan, dan dianggap bertentangan dengan maksud rumusan semula. (3) Negara melindungi penduduk dari penyebaran paham-paham yang bertentangan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.[4]

FPP menegaskan bahwa dengan usulan seperti ini, maka larangan terhadap komunisme dalam TAP Nomor XXV/MPRS/1966 yang semula di dalam UUD bersifat implisit, menjadi eksplisit. Dengan demikian di masa depan tidak ada lagi kontroversial TAP MPRS itu dengan UUD.[5]

Dalam sidang PAH I, pembahasan pasal 29 berjalan sangat seru dan cukup a lot, sehingga melahirkan empat alternatif. Alternatif pertama adalah tetap seperti rumusan lama. Kedua, berbunyi : negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Ketiga, berbunyi : negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan ajaran agama bagi masing-masing pemeluknya. Keempat, berbunyi: negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Terhadap alternatif ini F-PPP dan F-PBB memilih alternatif kedua. F-Reformasi dan F-PKB memilih alternatif ketiga, sisanya termasuk F-PDIP memilih alternatif pertama. 

Di luar saluran institusi-institusi politik isu Piagam Jakarta dalam amandemen pasal 29 UUD 1945, juga terdapat pro kontra antar beberapa kelompok masyarakat. Seperti FPI, Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jamaah, Majlis Mujahidin, PPMI, Ikatan Remaja dan Mahasiswa Jawa Barat dan lain-lain, mereka datang ke DPR untuk menyampaikan aspirasinya. 

Dari berkobarnya semangat amandemen, yang jelas bahwa amandemen terhadap pasal 29 UUD 1945 bisa dikatakan gagal. Gagal dalam kacamata golongan yang mengusulkan perubahan. Dengan kata lain pasal 29 UUD 1945 tetap pada rumusan semula. 
Sebuah Analisis 

Adanya perbedaan hasil antara UUD produk BPUPKI dengan produk PPKI mengakibatkan terpecahnya pandangan para pemimpin Indonesia menjadi dua kelompok. Kelompok pertama berpendapat bahwa setelah dicoretnya tujuh kata dari piagam Jakarta dan diganti menjadi Ketuhahan Yang Maha Esa berarti sistem Hukum Islam tidak otomatis berlaku di Indonesia. Hukum nasional di masa mendatang adalah hukum yang bahan-bahannya terdiri atas hukum Barat, hukum Adat, dan hukum Islam. Hukum Islam baru berlaku setelah diterima oleh hukum Adat dan tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.[6]

Kelompok kedua berpendapat bahwa norma dasar yang terkandung pada pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang terpenting ialah : 1) Negara RI berkewajiban menjalankan syari’at Islam bagi orang Islam, syari’at Nasrani bagi orang Nasrani dan syari’at Hindu bagi orang Hindu sepanjang penyelenggaraan syari’at itu memerlukan bantuan bagi kekuasaaan negara. 2) Syari’at agama yang dianut oleh masing-masing pemeluknya di Indonesia ini sepanjang dapat dilakukan oleh pemeluk agama yang bersangkutan biarlah oleh mereka masing-masing tanpa campur tangan kekuasaan negara. Makna yang dapat ditarik dari angka satu diatas adalah bahwa dalam negara RI ini tidak boleh diberlakukan hukum yang bertentangan dengan syari’at Islam bagi orang Islam, yang bertentangan dengan syari’at Nasrani bagi orang Nasrani, dan syari’at Hindu bagi orang Hindu.[7]

Kelompok pertama nampaknya berpaham tekstual, bahwa suatu negara berdasar Islam apabila konstitusi yang berlaku adalah Islam. Sementara kelompok kedua tidak melihat pada sisi ekspilit tekstual, tetapi dengan kata yang umum itu masih bisa dipahami bahwa syari’at Islam masih bisa berlaku secara konstitusional yang tidak terpisah dengan negara. 

Gagasan tentang dasar negara Islam yang dipromosikan oleh pendukungnya selama ini sesungguhnya paralel dengan perdebatan tidak resmi tentang Islam dan kebangsaan atau nasionalisme. Hal ini terlihat dari penolakan kelompok Islam terhadap konsep nasionalisme yang pernah dilontarkan Soekarno di awal kemerdekaan sebagai tidak sesuai dengan konsep nasionalisme Islam. Soekarno mendefinisikan nasionalisme sebagai “cinta kepada tanah air, kesediaan yang tulus untuk membaktikan diri dan mengabdi kepada tanah air, serta kesediaan untuk mengesampingkan kepentingan golongan yang sempit.[8] Konsep inilah yang mendasari Soekarno untuk setuju dengan usul-usul perubahan sehingga menghasilkan UUD prduk PPKI yang jauh berbeda dengan Produk BPUPKI, disamping pertimbangan keutuhan persatuan bangsa. 

Sementara itu kelompok Islam menganggap konsep nasionalisme Soekarno ini sebagai berlebihan, karena terkesan menyamakan posisi nasionalisme sejajar dengan agama. Jika pandangan ini dipakai maka terkesan menjadikan manusia sebagai budak yang menyembah tanah airnya dan berakhir dengan merusak tatanan tauhid. Karena itu Agus Salim menegaskan bahwa nasionalisme harus diposisikan dalam konteks pengabdian kepada Allah. Sejalan dengan pendapat ini, maka Islamlah prinsip yang harus didahulukan.[9]

Perdebatan-perdebatan ideologis yang konfrontatif dikalangan Islam dan nasionalis-sekuler ini sesungguhnya sangat bermakna positif apabila diarahkan seperti yang pernah terjadi di awal kemerdekaan. Karena berdebatan itu berlangsung benar-benar dalam rangka menggali konsep yang mendasar tentang bentuk Indonesia yang akan dibangun.. Akan tetapi dalam kondisi sekarang, wacana yang dibentuk lebih bernuansa pada komoditi politik pragmatis. Cara-cara yang dipakai sering tidak simpatik, berbau kekerasan dan inkonstitusional di kalangan pendukung Islam itu sendiri. Beberapa partai misalnya, sering berargumentasi secara tidak matang dan sembunyi-sembunyi. Tidak mengemukakan argumentasi filosofis dan teoritis dan mengesampingkan ideologinya ketika dihadapkan pada situasi yang mengharuskan kompromi politik. 

Kalau dilihat dari peta politiknya, fenomena sekarang ini sebenarnya merupakan kilasbalik dari sejarah politik Orde Lama. Meskipun isu politik yang dikemas oleh parta-partai Islam tidak persis sama dengan masa lalu, namun orientasi yang bernuansa masa lalu hampir tak bisa dipungkiri. Masih ada keinginan agar Islam menjadi ideologi dan dasar negara Indonesia. Keinginan seperti ini adalah sah dalam iklim demokrasi. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu menjadi bahan pertimbangan. Pertama, perlu disadari bahwa Islam tidak seharusnya melebur secara total dengan negara. Sebab kalau itu terjadi maka Islam juga akan mempunyai watak yang sama dengan negara, yakni watak, hegemoni, menguasai, memaksa dan terkadang refresif, padahal Islam tidak mempunyai watak seperti itu. 

Kedua, akan sulit membedakan batas wewenang antara negara dengan agama, sebab agama banyak mengatur yang bersifat individual, seperti shalat, haji dan puasa. Tidak mungkin negara dapat memenjarakan umat Islam karena tidak shalat, atau karena tidak puasa atau tidak berjilbab. Ketiga, apapun konsep Islam tentang negara sewajarnyalah kalau didialogkan dan dinegosiasikan dengan konsep lain dari manapun datangnya. Apabila tiga hal ini dapat diclearkan, maka aspirasi tentang negara islam menjadi wajar. Akan tetapi apabila ditempuh dengan jalan yang dipaksakan, justeru akan menimbulkan ketegangan yang terus menerus. 


Penutup 

Dari uraian yang dikemukakan terdahulu dapat disimpulkan sebagai berikut : 

1. Sudah ada usaha dan perjuangan dari kalangan Islam untuk menjadikan negara Indonesia dengan dasar Islam, terutama dengan memperjuangkan masuknya kewajiban melaksanakan syariat Islam secara konstitusional dalam UUD, termasuk perjuangan itu pada saat UUD diamandemen. Tetapi usaha ini masih terhalang oleh pertimbangan toleransi dengan agama lain yang masih ingin bersatu di negara Republik Indonesia. 

2. Kegagalan usaha itu tidak berarti syari’at Islam kehilangan legetimasi dalam konstitusi nasional. Meskipun harus melalui proses aturan tertentu hukum Islam secara lembaga masih bisa berlaku secara konstitusional, seperti lahirnya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, Undang-Undang Zakat, Undang-undang tentang Baan Peradilan Islam dan lain-lain. 

Untuk itu dapat disarankan bahwa apabila amandemen UUD terus digulirkan, dan kelompok Islam masih berharap masuknya Piagam Jakarta ke dalam UUD khusunya pasal 29, perlu adanya kesiapan yang matang bagi umat Islam. 

[read more..]

UPAYA-UPAYA LEGETIMASI SYARI’AT ISLAM DALAM HUKUM NASIONAL

1 comments

(Dialiktika Sejarah UUD 1945 dan Piagam Jakarta) 


Oleh: Abnan Pancasilawati *


Abstrak: Sekian moment penting dalam perkembangan sejarah bangsa, telah dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh Islam, dalam upaya menjadikan Islam sebagai dasar negara. Termasuk di dalamnya upaya menjadikan hukum Islam berlaku formal sebagai atau dalam hukum Nasional. Usaha dimaksud memang belum membuahkan hasil maksimal, baik pada saat penyusunan awal konsep bernegara dan berbangsa, maupun ketika UUD 1945 itu diamandemen. Ketertundaan hasil usaha dimaksud banyak ditentukan oleh pertimbangan langkah kompromis, atau justeru karena konsep strategis yang belum matang. Tulisan ini menguraikan hal itu, yang dimulai dari pemaparan proses pembentukan UUD 1945 oleh BPUPKI, PPKI sampai diamandemen. 



Kata kunci : UUD 1945, Piagam Jakarta, Hukum Islam, Hukum Nasional. 

Pendahuluan 

Masa Indonesia merdeka adalah saat paling penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Nilai kepentingan itu bukan saja tergantung pada hadirnya kemerdekaan, tetapi lebih jauh juga akan membawa perubahan nilai-nilai yang revolusioner dalam tata hukum di Indonesia. Bagi Hukum Islam, itu juga merupakan perjuangan dapat atau tidaknya konsepsi Islam yang mendasarkan kepada keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat itu ditegakkan dan menjadi dasar tata hukum di Indonesia.[1]

Ketika UUD RI yang akan disahkan, disepakati bahwa dasar negara Republik Indonesia adalah Pancasila, dimana sila pertamanya berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Semula sila ini disepakati berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Perubahan itu sebagai bukti toleransi tokoh Islam demi untuk kesatuan dan persatuan bangsa serta keutuhan dan kelestarian Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan. 

Penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta bukan saja sebuah pengorbanan umat Islam yang bertujuan memelihara keutuhan negara Indonesia, tetapi berbuah pada hilangnya ligetimasi berlakunya hukum Islam dalam tatanan hukum nasional. 

Dengan tidak dicantumkannya kata kewajiban melaksanakan syari’at Islam bagi pemeluknya pada UUD 1945, apakah pemberlakuan hukum Islam atau syari’at Islam telah benar-benar kehilangan hukum dasar. Sehingga untuk memberlakukan hukum Islam dalam sistem hukum Nasional harus diatur dan sesuai dengan tata hukum Indonesia. Ataukah masih ada celah yang dapat dipahami untuk menampik asumsi itu, atau barangkali hukum Islam harus benar-benar terpisah dengan persoalan bernegara. 

Adalah penomena yang sangat wajar apabila ada tuntutan yang deras dari pihak Islam untuk memasukkan hukum Islam dalam tatanan hukum Nasional. Kewajaran itu cukup beralasan, karena kemerdekaan Indonesia banyak diandili oleh Islam. Andil besar itu terbukti dengan keterlibatan umat Islam dalam perang perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia, maupun pada saat penyusunan awal konsep negara Indonesia. Sejauhmanakah upaya-upaya itu ditanggapi atau bahkan mendapat tantangan dari pihak lain. Tulisan ini mencoba menguraikan tentang keberadaan sistem hukum Islam ditengah-tengah pergolakan sistem hukum nasional. Pembicaraan dimulai dari sejarah awal pembentukan dasar hukum hingga lahirnya UUD 1945 yang mengungkap besarnya peranan Islam dalam proses itu. Kemudian dilanjutkan dengan upaya amandemen, dan beberapa pertimbangan sehingga amandemen tidak mengubah isi pasal 29 UUD 1945. Bagian lain adalah pembahasan tentang legalitas hukum Islam dalam negara Indonesia. 

UUD 1945 dan Piagam Jakarta Produk BPUPKI 

Salah satu peristiwa politik menjelang kemerdekaan Indonesia ialah didirikannya BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 1 Maret 1945. BPUPKI yang beranggotakan 70 (tepatnya 69 orang) orang, terdiri dari berbagai unsur kekuatan politik dan masyarakat Indonesia. Sidang BPUPKI diarahkan pada perumusan dan pembuatan rancangan Undang Undang Dasar. Perdebatan serta diskusi di antara anggota yang mewarnai jalannya sidang mencerminkan sebuah toleransi. Mereka lebih menonjolkan kesatuan dan kebersamaan, yang kelak mewarnai rumusan-rumusan Undang Undang Dasar yang kemudian menjadi UUD 1945.[2] Meskipun toleransi itu akhirnya membuahkan pengorbanan besar pada kelompok tertentu. 

Pembicaraan selama persidangan Badan Penyelidik itu dengan jelas mencerminkan ada dua posisi kelompok yang saling berbeda kepentingan. dalam merumuskan dasar negara Republik Indonesia. 

Memang di sini terlihat ada dua faham, ialah ; faham dari anggota-anggota ahli agama, yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dan anjuran lain, sebagai telah dianjurkan oleh tuan Mohammad Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan Islam, dengan lain perkataan: bukan negara Islam.[3]

Dalam melaksanakan tugasnya BPUPKI mengadakan dua kali sidang resmi dan satu kali sidang tidak resmi, yang seluruhnya berlangsung di Jakarta sebelum kekalahan kekaisaran Jepang terhadap Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. 

Sidang-sidang resmi berlangsung dua tahap, tahap pertama dilaksanakan pada tanggal 28 Mei - 1 Juni 1945 yang membahas tentang dasar negara yang dipimpim langsung oleh Ketua BPUPKI Dr. Radjiman Widyodiningrat. Tahap kedua berlangsung antara tanggal 10 – 17 Juli 1945 membahas bentuk negara, wilayah negara, kewarganegaraan, rancangan Undang- undang Dasar, ekonomi dan keuangan, pembelaan, pendidikan dan pengajaran. Sedangkan sidang tidak resmi yang dihadiri oleh 38 orang anggota BPUPKI, berlangsung dalam masa reses antara sidang pertama dan sidang kedua yang membahas rancangan pembukaan UUD 1945, dipimpin oleh anggota BPUPKI, Ir. Soekarno.[4]

Dalam sidang tidak resmi dari 38 anggota BPUPKI ini, kemudian membentuk panitia kecil yang terdiri atas 9 orang yang dipilih, yaitu : Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno, Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Achmad Soebarjo, Wahid Hasyim dan Muhammad Yamin. Setelah melalui pembicaraan serius, akhirnya panitia kecil ini mencapai suatu kesepakatan antara para nasionalis Islam disatu pihak dan nasionalis sekuler dipihak lain. Mereka menyetujui rancangan pembukaan UUD 1945.[5]

Dalam pidatonya tanggal 10 Juli pada sidang Paripurna Badan Penyelidik, Soekarno menyampaikan hasil kesepakatan yang dicapai oleh panitia sembilan itu, sebagai berikut : 

Allah Subhana wa Ta’ala memberkati kita. 

Sebenarnya ada kesukaran mula-mula, antara golongan yang dinamakan golongan Islam dan golongan yang dinamakan golongan kebangsaan. Mula-mula ada kesukaran mencari kecocokan faham antara kedua golongan ini, terutama yang mengenai soal agama dan negara, tetapi sebagai tadi saya katakan, Allah Subhana wa Ta’ala memberkati kita sekarang ini, kita sekarang sudah ada persetujuan. [6]

Panitia kecil menyetujui sebulat-bulatnya rancangan preambul yang disusun oleh anggota-anggota panitia kecil itu. Rancangan preambul itu ditanda tangani oleh sembilan anggota pada 22 Juni 1945 di Jakarta, maka ia dikenal sebagai Piagam Jakarta, nama yang nampaknya dipergunakan pertama kali oleh Mohammad Yamin.[7] Bunyi asli dari Piagam Jakarta itu sebagai berikut : 

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak ssegala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusian dan peri-keadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentausa mengantaskan rakyat Indonesia kedepan pntu gerbang Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkatrahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka Rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan Rakyat, dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusian yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan–perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.[8]

Yang menonjol dalam Piagam Jakarta ini ialah termuatnya tujuh kata, yaitu “dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, yang kemudian menjadi perdebatan di kalangan anggota BPUPKI pada sidang-sidang selanjutnya. Seorang anggota BPUPKI yang beragama Kristen, Latuharhary, menyatakan keberatannya atas kata-kata tersebut. Dia mengkhawatirkan akibatnya mungkin besar terutama terhadap agama lain, juga bisa menimbulkan kekacauan terhadap adat istiadat. Terhadap kekhawatiran Latuharhary ini secara spontan dijawab oleh H. Agus Salim, seorang anggota Badan Penyelidik sekaligus pemimpin Islam terkenal, dia mengatakan : 

Pertikaian hukum agama dengan hukum adat bukanlah masalah baru, dan pada umumnya sudah selesai. Lain daripada itu orang-orang beragama lain tidak perlu khawatir : keamanan orang-orang itu tidak tergantung pada kekuasaan negara, tetapi pada adatnya ummat Islam yang 90 % itu.[9]

Perdebatan terus berlangsung, beberapa orang yang lainnya juga menyampaikan keberatan atas dimuatnya tujuh kata tersebut. Tidak kurang dari Wongsonegoro yang didukung oleh Hoesein Djajadiningrat, mengemukakan pendapat penolakannya dengan argumentasi bahwa kalimat itu mungkin saja menimbulkan fanatisme, karena seolah-olah memaksa menjalankan syari’at bagi orang-orang Islam. Namun usul penolakan itu kemudian dijawab oleh Abdul Wahid Hasyim, “Bila ada orang yang menganggap kalimat ini tajam, ada juga yang mengangap kurang tajam”.[10]

Terhadap situasi ini akhirnya Soekarno, sebagai pemimpin pertemuan mengingatkan bahwa “Preambul itu adalah suatu hasil jerih payah antara golongan Islam dan kebangsaan. Kalau kalimat itu tidak dimasukkan, tidak bisa diterima oleh kalangan kaum Islam. Oleh karena pokok-pokok lain kiranya tidak ada yang menolak, pokok-pokok dalam Preambul dianggap sudah diterima.[11] Setelah Piagam Jakarta ini diterima secara apa adanya, pembicaraan selanjutnya beralih pada masalah rancangan Undang-Undang Dasar. 

Dalam sidang Badan Penyelidik, 14 Juli 1945, Soekarno, sebagai Ketua Panitia Konstitusi melaporkan kepada sidang paripurna tiga rancangan; yaitu Deklarasi Kemerdekaan, [12] Preambul (Mukaddimah) UUD dan Batang Tubuh UUD yang terdiri atas 42 pasal. 

Dua pasal dari rancangan pertama UUD itu yang relevan dengan uraian ini ialah fasal 4 dan 29. Pasal 4 ayat 2 tentang orang yang dapat menjadi Presiden dan Wakil Presiden hanya orang Indonesia asli, sedangkan pasal 29 tentang agama : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama apa pun dan untuk beribadat menurut agamanya masing-masing. 

Bunyi dari dua pasal ini kemudian dibantah dengan usul-usul yang diajukan oleh pihak Islam. Usul-usul itu pada dasarnya menghendaki bahwa jiwa dari Pembukaan UUD yang diambil dari Piagam Jakarta itu, secara implisit termuat dalam batang tubuh UUD itu. 

A. Wahid Hasjim mengajukan dua usul. “Pertama pada pasal 4 ayat 2 ditambah dengan kata “yang beragama Islam. Buat masyarakat Islam penting sekali perhubungan antara pemerintah dengan masyarakat”. Dia menyampaikan alasan : “Jika Presiden orang Islam, maka perintah-perintah berbau Islam, dan akan besar pengaruhnya”. Kedua, diusulkannya pula pada pasal 29 tentang agama, diubah sehingga berbunyi : “Agama negara ialah agama Islam, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain untuk, dan sebagainya”. Dia beralasan; “Pada umumnya pembelaan yang berdasarkan atas kepercayaan sangat hebat, karena menurut ajaran agama , nyawa hanya boleh diserahkan buat ideologi agama”.[13] Usul Wahid Hasjim ini nampaknya bukan saja ditolak oleh kalangan non muslim, tetapi Haji Agus Salim, yang juga merupakan juru bicara pihak Islam, tidak menyetujui usul tersebut. Namun Wahid Hasjim yang kemudian mendapat dukungan dari Sukiman, berkeras dengan pendapatnya, dengan beralasan bahwa usul tersebut akan memuaskan rakyat. Oto Iskandar Dinata mencoba mengambil jalan tengah, pada satu sisi dia setuju dengan usul Djajadiningrat untuk menghapus sama sekali pasal 4 ayat 2 itu. Di segi lain dia mengusulkan agar kata-kata yang tercantum dalam Piagam Jakarta diulang cantumkan dalam pasal tentang agama.[14] Oto Iskandar menginginkan bahwa dalam pasal mengenai agama dari UUD dicantumkan bunyi kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya. Lain halnya dengan Ki Bagus Hadikusumo, tidak menyetujui rumusan dengan pencantuman tujuh kata itu. Dia bahkan sejalan dengan usul Kiai Ahmad Sanusi, bahwa kata-kata “bagi pemeluk-pemeluknya” itu dihilangkan saja.[15] Usul Ki Bagus ini lebih jelas lagi menginginkan bahwa dasar negara Indonesia adalah Islam. Sebab dengan membuang kata “bagi pemeluknya”, maka semua penduduk Indonesia terikat untuk mengamalkan syari’at Islam, tidak hanya terbatas pada umat Islam tetapi juga kepada penganut agama lain. 

Dalam proses perdebatan tersebut, Hadikusumo kembali mengungkit ketidak setujuannya atas tujuh kata dalam Preambul UUD. Namun Soekarno juga tetap pada pendiriannya, dia sekali lagi mengingatkan dengan usulnya sebagai berikut : 

Pendek kata inilah kompromis yang sebaik-baiknya, jadi Panitia memegang teguh kompromis yang dinamakan oleh anggota yang terhormat Muhammad Yamin “Jakarta Charter”, yang disertai perkataan anggota yang terhormat Sukiman “Genteleman’s Agreement”, supaya ini dipegang teguh di antara fihak Islam dan fihak kebangsaan. Saya mengharap paduka tuan yang mulia, rapat besar suka membenarkan sikap Panitia itu.[16]

Meskipun perdebatan ini sempat membuahkan penawaran pemungutan suara oleh ketua Badan Penyidik, Radjiman Wedyodiningrat, tetapi atas saran-saran anggota yang menawarkan semangat kompromi akhirnya piagam Jakarta diterima bulat sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar. Demikian juga tentang dasar negara yaitu : Negara berdasar atas Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya. Sedangkan pasal 4 ayat 2 disetujui bahwa yang dapat menjadi presiden dan wakil presedin ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam.[17]

Pemufakatan secara bulat itu tidaklah dicapai dengan mudah bahkan sempat terjadi penutupan sidang tanpa membawa kesepakatan apa-apa. Kemudian pada sidang berikutnya tanggal 16 Juli 1945 kembali Soekarno menghimbau kepada segenap anggota terutama kepada pihak yang disebutnya kebangsaan untuk berkorban. 

Saya berkata, adalah sifat kebesaran di dalam pengorbanan, “er is grootheid in offer”. 

...Yang saya usulkan, ialah : baiklah kita terima, bahwa di dalam Undang Undang Dasar dituliskan, bahwa “Presiden Republik Indonesia haruslah orang Indonesia asli yang beragama Islam”. Saya mengetahui bahwa buat sebagian pihak kebangsaan ini berarti suatu ... pengorbanan mengenai keyakinan. Tetapi apa boleh buat! Karena bagaimanapun kita yang hadir di sini, dikatakan 100 % telah yakin, bahwa justru penduduk Indonesia, rakyat Indonesia terdiri daripada 90 % orang-orang yang beragama Islam, bagaimanapun, tidak boleh tidak, nanti yang menjadi Presiden Indonesia tentulah yang beragama Islam. 

Saya minta dengan rasa menangis, rasa menangis supaya sukalah saudara-saudara menjalankan Offer ini kepada tanah air dan bangsa kita. 

... Saya harap, Paduka Tuan yang mulia suka mengusahakan supaya sedapat mungkin dengan lekas, mendapat kebulatan dan persetujuan yang sebulat-bulatnya dari segenap sidang untuk apa yang saya usulkan tadi itu.[18]

Pidato Soekarno ini akhirnya menyemangati anggta Badan Penyelidik untuk menerima secara bulat Undang-Undang Dasar sebagai hasil dari rancangan Panitia kecil yang diketuai oleh Soekarno. Kesepakatan ini merupakan sebuah kemenangan pihak Islam, sebab secara meyakinkan usul-usul yang merupakan kepentingan mayoritas dapat diterima. 

UUD 1945 Produk PPKI 

Kejatuhan Jepang yang menyerah pada kekuatan sekutu menjadi momentum yang sangat berarti bagi sejarah kemerdekaan Indonesia. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh tokoh bangsa ini untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Keesokan harinya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk tanggal 7 Agustus 1945 yang dipimpin oleh Soekarno sebagai ketua dan Mohammat Hatta sebagai wakil ketua mengadakan rapat. Pertemuan ini rencananya dimulai pada jam 09.30, akan tetapi belum juga dimulai hingga sampai jam 11.30.[19]

Jeda waktu selama dua jam tersebut ternyata masa yang teramat penting bagi sejarah Indonesia khususnya dalam kaitan konstitusi Indonesia. Waktu yang singkat itu digunakan oleh Muhammad Hatta untuk mengadakan loby dengan beberapa anggota PPKI mengenai konsep perubahan pada Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar. Muhammad Hatta, sebelumnya (tepatnya sore hari 17 Agustus 1945) didatangi seorang opsir Jepang yang menyampaikan pesan dari golongan Protestan dan Katolik terutama dari Indonesia Timur agar menghilangkan tujuh kata pada Pembukaan Undang Undang Dasar. Mereka mengancam akan keluar dari Republik Indonesia apabila usul itu tidak diterima. Usul inilah yang kemudian menjadi pertimbangan Muhammad Hatta mengajukan usul perubahan sebagai berikut: 

1. Kata “Mukaddimah” diganti dengan kata ‘Pembukaan”. 

2. Dalam Preambule (Piagam Jakarta), anak-kalimat : “Berdasarkan kepada Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya “diubah menjadi ”berdasar atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. 

3. Pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata” dan beragama Islam” dicoret. 

4. Sejalan dengan perubahan yang kedua di atas, maka Pasal 29 ayat 1 menjadi “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”, sebagai pengganti “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.[20]

Usul perubahan yang diajukan Muhammad Hatta ini, nampaknya disetujui oleh rapat PPKI, meskipun melalui beberapa usul namun tidak mendapat pembahasan yang begitu berarti. 

Hanya beberapa jam kemudian, yakni jam 13,45, Panitia Persiapan menerima dengan bulat teks perubahan Preambule dan batang-tubuh Undang-Undang Dasar ini. Preambule dan batang-tubuh Undang-Undang dasar dengan beberapa perubahan ini dikenal luas sebagai ‘Undang-Undang Dasar 1945”.[21]

Persetujuan yang terburu-buru mengenai beberapa perubahan yang teramat penting dan kontroversial itu, akhirnya berbuntut pada sebuah pertanyaan besar yang sulit dijawab. Kejadian yang mengejutkan ini, tentu saja sangat mengecewakan bangsa Indonesia yang beragama Islam. 

Kekhawatiran akan terjadinya perpecahan jika keputusan tidak diubah, dianggap dapat dihindari dengan mengorbankan modus vivendi atau gentleman’s agreement antara pihak Islam dengan pihak kebangsaan. Bahaya pertama dianggap lebih berat daripada bahaya dikecewakannya golongan Islam. 
[read more..]

DAMPAK KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER TERHADAP PEREKONOMIAN

0 comments

(Studi kasus pada sektor UMKMK)

PENDAHULUAN
Kebijakan fiskal dan kebijakan moneter tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain di dalam pencapaian target – target ekonomi yang telah ditetapkan. Secara umum terdapat empat permasalahan ekonomi makro yang dapat dipengaruhi pemerintah melalui kebijakan fiskal dan moneter, yaitu tingkat harga agregat (inflasi), produk domestik bruto (PDB), penyerapan tenaga kerja (employment) dan neraca pembayaran atau balance of payment (BOP). Hal tersebut menunjukkan bahwa koordinasi yang kuat antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter sangat diperlukan dalam mencapai target – target ekonomi makro yang sudah ditetapkan.

PERMASALAHAN
Koordinasi antara kebijakan fsikal dan kebijakan moneter sangat diperlukan dalam menetapkan dan mencapai target – target moneter dan deficit APBN secara konsisten dalam rangka mencapai pembangunan ekonomi yang cukup tinggi dan stabil. Sebab pada umumnya koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter selalu menjadi masalah dimana sumber – sumber permasalahan tersebut, antara lain:
1.      Ketidak jelasan penugasan dalam peraturan perundang – undangan yang berlaku kepada Departemen Keuangan dan Bank Sentral;
2.      Kedudukan Bank Sentral dalam pemerintahan, yaitu sejauh mana Bank Sentral mempunyai kedudukan yang independen dari pemerintah;
3.      Persepsi dari pimpinan tertinggi Bank Sentral dan Departemen Keuangan mengenai koordinasi yang harus dilakukan;
4.      Instrumen yang dipakai oleh Bank Sentral dalam operasi pasar;
5.      Tingkat kemajuan pasar modal
Sebagai contoh pada saat pemerintah menghadapi cash- flow, pemerintah tidak diperbolehkan untuk meminjam uang dari Bank Indonesia untuk menutup defisit APBN, bahkan untuk jangka pendek sekalipun sebab hal ini bertentangan dengan Undang – Undang No.23 tahun 1999. Bank Indonesia mempunyai kekuasaan penuh di dalam menetapkan/ mengatur jumlah uang yang beredar dalam perekonomian. Akan tetapi asumsi yang dipakai dalam hal ini adalah bahwa kurs mata uang adalah tetap. Dalam hal floating exchange rate system, pelaksanaannya akan lebih rumit sebab kebijakan fiskal akan mempengaruhi kurs rupiah yang pada akhirnya akan mempengaruhi jumlah uang yang beredar. Dengan demikian, walaupun Bank Indonesia memegang kebebasan penuh dalam mengatur jumlah uang yang beredar, koordinasi antara kebijakan fiskal dan kebijakan moneter sangat diperlukan.

Dampak Kebijakan fiskal terhadap perekonomian
Kebijakan fiskal akan mempengaruhi perekonomian melalui penerimaan dan pengeluaran negara yang dapat dilihat dari selisih antara penerimaan dan pengeluaran maupun jenis sumber penerimaan negara dan bentuk kegiatan yang dibiayai oleh pengeluaran negara. Pada dasarnya sumber – sumber penerimaan negara berasal dari pajak – pajak dan berbagai pungutan yang dipungut pemerintah dari perekonomian dalam negeri. Sedangkan pengeluaran negara adalah semua pengeluaran untuk operasi pemerintah dan pembiayaan berbagai proyek di sektor negara ataupun badan usaha miliki negara.
Dari perhitungan penerimaan dan pengeluaran negara akan diperoleh surplus atau defisit APBN. Dimana apabila hasil yang diperoleh surplus dalam APBN, maka terjadi efek kontraksi dalam perekonomian yang besarnya tergantung pada efek surplus tersebut. Surplus tersebut akan digunakan untuk membayar hutang pemerintah. Sedangkan bila yang terjadi adalah defisit, maka defisit tersebut dapat dibiayai dengan pinjaman luar negeri atau dengan pinjaman dalam negeri. Simber – sumber pinjaman dalam negeri diperoleh dalam bentuk pinjaman perbankan dan non perbankan yang mencakup peneribitan obligasi negara dan privatisasi. Dalam hal defisit dibiayai oleh pinjaman luar negeri akan menimbulkan tekanan inflasi, apabila pinjaman luar negeri dipergunakan untuk membeli barang dan jasa di dalam negeri sedangkan jika dipergunakan untuk membeli barang – barang impor tidak akan menimbulkan tekanan inflasi.

Dampak kebijakan moneter terhadap perekonomian.
Kebijakan moneter ditujukan untuk menjaga agar likuiditas dalam perekonomian berada dalam jumlah yang “tepat” sehingga dapat melancarkan transaksi perdagangan tanpa menimbulkan tekanan inflasi.  Dimana pada umumnya pengaturan jumlah likuiditas dilakukan melalui berbagai instrument seperti operasi pasar terbuka (open market operations), diskonto suku bunga Bank Sentral (discount policy) dan cadangan wajib (reserve requirements).
Operasi pasar terbuka dilakukan dengan membeli dan menjual obligasi dalam jangka panjang. Dimana apabila pemerintah menganggap perlu dilakukan penambahan dalam likuiditas, maka Bank Sentral akan membeli sejumlah obligasi negara dipasar sekunder. Sedangkan jika ingin melakukan pengurangan, maka pemerintah akan menjual sebagian obligasi negara yang berada dalam portofolio Bank Sentral.
[read more..]

KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS

0 comments
Dasar hukum Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-undang melalui Undang-undang No. 36 Tahun 2000. 



Pengertian Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas adalah suatu kawasan yang berada di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah dan cukai. 



Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas merupakan wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang pembentukannya dengan undang-undang. 



Di dalam kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas dilakukan kegiatan-kegiatan di bidang ekonomi, seperti sektor perdagangan, maritim, industri, perhubungan, perbankan, pariwisata dan bidang-bidang lain yang ditetapkan dalam Undang-undang Pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. 



Dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-undang melalui Undang-undang No. 36 Tahun 2000 disebutkan bahwa jangka waktu suatu Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan bebas adalah 70 (tujuh puluh) tahun terhitung sejak ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Jangka waktu 70 tahun ini dimaksudkan untuk memberikan rangsangan kepada para penanam modal luar negeri maupun dalam negeri untuk melakukan kegiatan ekonomi dan perdagangan di Kawasan Perdagangan Bebas, dan untuk meningkatkan persaingan sehat dalam rangka meningkatkan pendapatan nasional melalui peningkatan devisa dari Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri. 



Dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-undang melalui Undang-undang No. 36 Tahun 2000 disebutkan bahwa Presiden menetapkan Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas di daerah, yang ketua dan anggotanya ditetapkan oleh Presiden atas usul Gubernur bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. 



Selanjutnya, dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-undang melalui Undang-undang No. 36 Tahun 2000 disebutkan bahwa Dewan Kawasan membentuk Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, yang kepala dan anggotanya ditunjuk oleh Dewan Kawasan. 



Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang telah ditetapkan oleh Pemerintah berdasarkan Undang-undang adalah Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang. Dasar hukum pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang adalah Undang-undang No. 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang menjadi Undang-Undang. Namun hingga saat ini Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang tersebut belum berfungsi sebagaimana yang diharapkan. 



Kemudahan dalam Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas 



a. Bidang Perizinan 



Dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-undang melalui Undang-undang No. 36 Tahun 2000 disebutkan bahwa untuk memperlancar kegiatan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, Badan Pengusahaan diberi wewenang mengeluarkan izin-izin usaha dan izin usaha lainnya yang diperlukan bagi para pengusaha yang mendirikan dan menjalankan usaha di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas melalui pelimpahan wewenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 



Hal tersebut di atas, akan memberikan kemudahan bagi perusahaan dalam rangka PMA untuk menjalankan usahanya di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas karena adanya pelayanan satu atap/ pelayanan terpadu dari Badan Pengusahaan. 



b. Fasilitas Fiskal 



Dalam Pasal 11 angka 4 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas sebagaimana telah ditetapkan menjadi Undang-undang melalui Undang-undang No. 36 Tahun 2000 disebutkan bahwa pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas melalui pelabuhan dan bandar udara yang ditunjuk dan berada di bawah pengawasan pabean diberikan pembebasan bea masuk, pembebasan pajak pertambahan nilai, pembebasan pajak penjualan atas barang mewah dan pembebasan cukai. 



Berdasarkan Undang-undang, semua penanam modal asing yang melakukan penanaman modalnya di Indonesia termasuk di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas memperoleh jaminan dan perlindungan hukum berupa: 



- Jaminan transfer : keuntungan, biaya TKA, penyusutan peralatan, kompensasi atas nasionalisasi & biaya lainnya (PS 19). 



- Jaminan tidak melakukan tindakan nasionalisasi, kecuali dengan UU (pasal 21). 



- Jika tindakan nasionalisasi dilakukan, harus berdasarkan UU & diberikan kompensasi/ganti rugi (pasal 22). 



- Alternatif untuk melakukan penyelesaian sengketa melalui arbitrase nasional maupun internasional apabila terjadi sengketa antara Pemerintah RI dan Investor berdasarkan International Center of Settlement of Investment Disputes (ICSID) dan Investment Guarantee Agreement (IGA). 

[read more..]