Powered by Blogger.

Friday, June 7, 2013

UPAYA-UPAYA LEGETIMASI SYARI’AT ISLAM DALAM HUKUM NASIONAL


(Dialiktika Sejarah UUD 1945 dan Piagam Jakarta) 


Oleh: Abnan Pancasilawati *


Abstrak: Sekian moment penting dalam perkembangan sejarah bangsa, telah dimanfaatkan oleh tokoh-tokoh Islam, dalam upaya menjadikan Islam sebagai dasar negara. Termasuk di dalamnya upaya menjadikan hukum Islam berlaku formal sebagai atau dalam hukum Nasional. Usaha dimaksud memang belum membuahkan hasil maksimal, baik pada saat penyusunan awal konsep bernegara dan berbangsa, maupun ketika UUD 1945 itu diamandemen. Ketertundaan hasil usaha dimaksud banyak ditentukan oleh pertimbangan langkah kompromis, atau justeru karena konsep strategis yang belum matang. Tulisan ini menguraikan hal itu, yang dimulai dari pemaparan proses pembentukan UUD 1945 oleh BPUPKI, PPKI sampai diamandemen. 



Kata kunci : UUD 1945, Piagam Jakarta, Hukum Islam, Hukum Nasional. 

Pendahuluan 

Masa Indonesia merdeka adalah saat paling penting dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Nilai kepentingan itu bukan saja tergantung pada hadirnya kemerdekaan, tetapi lebih jauh juga akan membawa perubahan nilai-nilai yang revolusioner dalam tata hukum di Indonesia. Bagi Hukum Islam, itu juga merupakan perjuangan dapat atau tidaknya konsepsi Islam yang mendasarkan kepada keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat itu ditegakkan dan menjadi dasar tata hukum di Indonesia.[1]

Ketika UUD RI yang akan disahkan, disepakati bahwa dasar negara Republik Indonesia adalah Pancasila, dimana sila pertamanya berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa. Semula sila ini disepakati berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Perubahan itu sebagai bukti toleransi tokoh Islam demi untuk kesatuan dan persatuan bangsa serta keutuhan dan kelestarian Republik Indonesia yang baru saja diproklamirkan. 

Penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta bukan saja sebuah pengorbanan umat Islam yang bertujuan memelihara keutuhan negara Indonesia, tetapi berbuah pada hilangnya ligetimasi berlakunya hukum Islam dalam tatanan hukum nasional. 

Dengan tidak dicantumkannya kata kewajiban melaksanakan syari’at Islam bagi pemeluknya pada UUD 1945, apakah pemberlakuan hukum Islam atau syari’at Islam telah benar-benar kehilangan hukum dasar. Sehingga untuk memberlakukan hukum Islam dalam sistem hukum Nasional harus diatur dan sesuai dengan tata hukum Indonesia. Ataukah masih ada celah yang dapat dipahami untuk menampik asumsi itu, atau barangkali hukum Islam harus benar-benar terpisah dengan persoalan bernegara. 

Adalah penomena yang sangat wajar apabila ada tuntutan yang deras dari pihak Islam untuk memasukkan hukum Islam dalam tatanan hukum Nasional. Kewajaran itu cukup beralasan, karena kemerdekaan Indonesia banyak diandili oleh Islam. Andil besar itu terbukti dengan keterlibatan umat Islam dalam perang perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia, maupun pada saat penyusunan awal konsep negara Indonesia. Sejauhmanakah upaya-upaya itu ditanggapi atau bahkan mendapat tantangan dari pihak lain. Tulisan ini mencoba menguraikan tentang keberadaan sistem hukum Islam ditengah-tengah pergolakan sistem hukum nasional. Pembicaraan dimulai dari sejarah awal pembentukan dasar hukum hingga lahirnya UUD 1945 yang mengungkap besarnya peranan Islam dalam proses itu. Kemudian dilanjutkan dengan upaya amandemen, dan beberapa pertimbangan sehingga amandemen tidak mengubah isi pasal 29 UUD 1945. Bagian lain adalah pembahasan tentang legalitas hukum Islam dalam negara Indonesia. 

UUD 1945 dan Piagam Jakarta Produk BPUPKI 

Salah satu peristiwa politik menjelang kemerdekaan Indonesia ialah didirikannya BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tanggal 1 Maret 1945. BPUPKI yang beranggotakan 70 (tepatnya 69 orang) orang, terdiri dari berbagai unsur kekuatan politik dan masyarakat Indonesia. Sidang BPUPKI diarahkan pada perumusan dan pembuatan rancangan Undang Undang Dasar. Perdebatan serta diskusi di antara anggota yang mewarnai jalannya sidang mencerminkan sebuah toleransi. Mereka lebih menonjolkan kesatuan dan kebersamaan, yang kelak mewarnai rumusan-rumusan Undang Undang Dasar yang kemudian menjadi UUD 1945.[2] Meskipun toleransi itu akhirnya membuahkan pengorbanan besar pada kelompok tertentu. 

Pembicaraan selama persidangan Badan Penyelidik itu dengan jelas mencerminkan ada dua posisi kelompok yang saling berbeda kepentingan. dalam merumuskan dasar negara Republik Indonesia. 

Memang di sini terlihat ada dua faham, ialah ; faham dari anggota-anggota ahli agama, yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dan anjuran lain, sebagai telah dianjurkan oleh tuan Mohammad Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan Islam, dengan lain perkataan: bukan negara Islam.[3]

Dalam melaksanakan tugasnya BPUPKI mengadakan dua kali sidang resmi dan satu kali sidang tidak resmi, yang seluruhnya berlangsung di Jakarta sebelum kekalahan kekaisaran Jepang terhadap Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. 

Sidang-sidang resmi berlangsung dua tahap, tahap pertama dilaksanakan pada tanggal 28 Mei - 1 Juni 1945 yang membahas tentang dasar negara yang dipimpim langsung oleh Ketua BPUPKI Dr. Radjiman Widyodiningrat. Tahap kedua berlangsung antara tanggal 10 – 17 Juli 1945 membahas bentuk negara, wilayah negara, kewarganegaraan, rancangan Undang- undang Dasar, ekonomi dan keuangan, pembelaan, pendidikan dan pengajaran. Sedangkan sidang tidak resmi yang dihadiri oleh 38 orang anggota BPUPKI, berlangsung dalam masa reses antara sidang pertama dan sidang kedua yang membahas rancangan pembukaan UUD 1945, dipimpin oleh anggota BPUPKI, Ir. Soekarno.[4]

Dalam sidang tidak resmi dari 38 anggota BPUPKI ini, kemudian membentuk panitia kecil yang terdiri atas 9 orang yang dipilih, yaitu : Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Abikoesno, Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Achmad Soebarjo, Wahid Hasyim dan Muhammad Yamin. Setelah melalui pembicaraan serius, akhirnya panitia kecil ini mencapai suatu kesepakatan antara para nasionalis Islam disatu pihak dan nasionalis sekuler dipihak lain. Mereka menyetujui rancangan pembukaan UUD 1945.[5]

Dalam pidatonya tanggal 10 Juli pada sidang Paripurna Badan Penyelidik, Soekarno menyampaikan hasil kesepakatan yang dicapai oleh panitia sembilan itu, sebagai berikut : 

Allah Subhana wa Ta’ala memberkati kita. 

Sebenarnya ada kesukaran mula-mula, antara golongan yang dinamakan golongan Islam dan golongan yang dinamakan golongan kebangsaan. Mula-mula ada kesukaran mencari kecocokan faham antara kedua golongan ini, terutama yang mengenai soal agama dan negara, tetapi sebagai tadi saya katakan, Allah Subhana wa Ta’ala memberkati kita sekarang ini, kita sekarang sudah ada persetujuan. [6]

Panitia kecil menyetujui sebulat-bulatnya rancangan preambul yang disusun oleh anggota-anggota panitia kecil itu. Rancangan preambul itu ditanda tangani oleh sembilan anggota pada 22 Juni 1945 di Jakarta, maka ia dikenal sebagai Piagam Jakarta, nama yang nampaknya dipergunakan pertama kali oleh Mohammad Yamin.[7] Bunyi asli dari Piagam Jakarta itu sebagai berikut : 

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak ssegala bangsa, dan oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusian dan peri-keadilan. Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentausa mengantaskan rakyat Indonesia kedepan pntu gerbang Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkatrahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka Rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya. Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia yang berbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia, yang berkedaulatan Rakyat, dengan berdasarkan kepada : Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusian yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan–perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.[8]

Yang menonjol dalam Piagam Jakarta ini ialah termuatnya tujuh kata, yaitu “dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, yang kemudian menjadi perdebatan di kalangan anggota BPUPKI pada sidang-sidang selanjutnya. Seorang anggota BPUPKI yang beragama Kristen, Latuharhary, menyatakan keberatannya atas kata-kata tersebut. Dia mengkhawatirkan akibatnya mungkin besar terutama terhadap agama lain, juga bisa menimbulkan kekacauan terhadap adat istiadat. Terhadap kekhawatiran Latuharhary ini secara spontan dijawab oleh H. Agus Salim, seorang anggota Badan Penyelidik sekaligus pemimpin Islam terkenal, dia mengatakan : 

Pertikaian hukum agama dengan hukum adat bukanlah masalah baru, dan pada umumnya sudah selesai. Lain daripada itu orang-orang beragama lain tidak perlu khawatir : keamanan orang-orang itu tidak tergantung pada kekuasaan negara, tetapi pada adatnya ummat Islam yang 90 % itu.[9]

Perdebatan terus berlangsung, beberapa orang yang lainnya juga menyampaikan keberatan atas dimuatnya tujuh kata tersebut. Tidak kurang dari Wongsonegoro yang didukung oleh Hoesein Djajadiningrat, mengemukakan pendapat penolakannya dengan argumentasi bahwa kalimat itu mungkin saja menimbulkan fanatisme, karena seolah-olah memaksa menjalankan syari’at bagi orang-orang Islam. Namun usul penolakan itu kemudian dijawab oleh Abdul Wahid Hasyim, “Bila ada orang yang menganggap kalimat ini tajam, ada juga yang mengangap kurang tajam”.[10]

Terhadap situasi ini akhirnya Soekarno, sebagai pemimpin pertemuan mengingatkan bahwa “Preambul itu adalah suatu hasil jerih payah antara golongan Islam dan kebangsaan. Kalau kalimat itu tidak dimasukkan, tidak bisa diterima oleh kalangan kaum Islam. Oleh karena pokok-pokok lain kiranya tidak ada yang menolak, pokok-pokok dalam Preambul dianggap sudah diterima.[11] Setelah Piagam Jakarta ini diterima secara apa adanya, pembicaraan selanjutnya beralih pada masalah rancangan Undang-Undang Dasar. 

Dalam sidang Badan Penyelidik, 14 Juli 1945, Soekarno, sebagai Ketua Panitia Konstitusi melaporkan kepada sidang paripurna tiga rancangan; yaitu Deklarasi Kemerdekaan, [12] Preambul (Mukaddimah) UUD dan Batang Tubuh UUD yang terdiri atas 42 pasal. 

Dua pasal dari rancangan pertama UUD itu yang relevan dengan uraian ini ialah fasal 4 dan 29. Pasal 4 ayat 2 tentang orang yang dapat menjadi Presiden dan Wakil Presiden hanya orang Indonesia asli, sedangkan pasal 29 tentang agama : “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama apa pun dan untuk beribadat menurut agamanya masing-masing. 

Bunyi dari dua pasal ini kemudian dibantah dengan usul-usul yang diajukan oleh pihak Islam. Usul-usul itu pada dasarnya menghendaki bahwa jiwa dari Pembukaan UUD yang diambil dari Piagam Jakarta itu, secara implisit termuat dalam batang tubuh UUD itu. 

A. Wahid Hasjim mengajukan dua usul. “Pertama pada pasal 4 ayat 2 ditambah dengan kata “yang beragama Islam. Buat masyarakat Islam penting sekali perhubungan antara pemerintah dengan masyarakat”. Dia menyampaikan alasan : “Jika Presiden orang Islam, maka perintah-perintah berbau Islam, dan akan besar pengaruhnya”. Kedua, diusulkannya pula pada pasal 29 tentang agama, diubah sehingga berbunyi : “Agama negara ialah agama Islam, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain untuk, dan sebagainya”. Dia beralasan; “Pada umumnya pembelaan yang berdasarkan atas kepercayaan sangat hebat, karena menurut ajaran agama , nyawa hanya boleh diserahkan buat ideologi agama”.[13] Usul Wahid Hasjim ini nampaknya bukan saja ditolak oleh kalangan non muslim, tetapi Haji Agus Salim, yang juga merupakan juru bicara pihak Islam, tidak menyetujui usul tersebut. Namun Wahid Hasjim yang kemudian mendapat dukungan dari Sukiman, berkeras dengan pendapatnya, dengan beralasan bahwa usul tersebut akan memuaskan rakyat. Oto Iskandar Dinata mencoba mengambil jalan tengah, pada satu sisi dia setuju dengan usul Djajadiningrat untuk menghapus sama sekali pasal 4 ayat 2 itu. Di segi lain dia mengusulkan agar kata-kata yang tercantum dalam Piagam Jakarta diulang cantumkan dalam pasal tentang agama.[14] Oto Iskandar menginginkan bahwa dalam pasal mengenai agama dari UUD dicantumkan bunyi kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya. Lain halnya dengan Ki Bagus Hadikusumo, tidak menyetujui rumusan dengan pencantuman tujuh kata itu. Dia bahkan sejalan dengan usul Kiai Ahmad Sanusi, bahwa kata-kata “bagi pemeluk-pemeluknya” itu dihilangkan saja.[15] Usul Ki Bagus ini lebih jelas lagi menginginkan bahwa dasar negara Indonesia adalah Islam. Sebab dengan membuang kata “bagi pemeluknya”, maka semua penduduk Indonesia terikat untuk mengamalkan syari’at Islam, tidak hanya terbatas pada umat Islam tetapi juga kepada penganut agama lain. 

Dalam proses perdebatan tersebut, Hadikusumo kembali mengungkit ketidak setujuannya atas tujuh kata dalam Preambul UUD. Namun Soekarno juga tetap pada pendiriannya, dia sekali lagi mengingatkan dengan usulnya sebagai berikut : 

Pendek kata inilah kompromis yang sebaik-baiknya, jadi Panitia memegang teguh kompromis yang dinamakan oleh anggota yang terhormat Muhammad Yamin “Jakarta Charter”, yang disertai perkataan anggota yang terhormat Sukiman “Genteleman’s Agreement”, supaya ini dipegang teguh di antara fihak Islam dan fihak kebangsaan. Saya mengharap paduka tuan yang mulia, rapat besar suka membenarkan sikap Panitia itu.[16]

Meskipun perdebatan ini sempat membuahkan penawaran pemungutan suara oleh ketua Badan Penyidik, Radjiman Wedyodiningrat, tetapi atas saran-saran anggota yang menawarkan semangat kompromi akhirnya piagam Jakarta diterima bulat sebagai Pembukaan Undang-Undang Dasar. Demikian juga tentang dasar negara yaitu : Negara berdasar atas Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya. Sedangkan pasal 4 ayat 2 disetujui bahwa yang dapat menjadi presiden dan wakil presedin ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam.[17]

Pemufakatan secara bulat itu tidaklah dicapai dengan mudah bahkan sempat terjadi penutupan sidang tanpa membawa kesepakatan apa-apa. Kemudian pada sidang berikutnya tanggal 16 Juli 1945 kembali Soekarno menghimbau kepada segenap anggota terutama kepada pihak yang disebutnya kebangsaan untuk berkorban. 

Saya berkata, adalah sifat kebesaran di dalam pengorbanan, “er is grootheid in offer”. 

...Yang saya usulkan, ialah : baiklah kita terima, bahwa di dalam Undang Undang Dasar dituliskan, bahwa “Presiden Republik Indonesia haruslah orang Indonesia asli yang beragama Islam”. Saya mengetahui bahwa buat sebagian pihak kebangsaan ini berarti suatu ... pengorbanan mengenai keyakinan. Tetapi apa boleh buat! Karena bagaimanapun kita yang hadir di sini, dikatakan 100 % telah yakin, bahwa justru penduduk Indonesia, rakyat Indonesia terdiri daripada 90 % orang-orang yang beragama Islam, bagaimanapun, tidak boleh tidak, nanti yang menjadi Presiden Indonesia tentulah yang beragama Islam. 

Saya minta dengan rasa menangis, rasa menangis supaya sukalah saudara-saudara menjalankan Offer ini kepada tanah air dan bangsa kita. 

... Saya harap, Paduka Tuan yang mulia suka mengusahakan supaya sedapat mungkin dengan lekas, mendapat kebulatan dan persetujuan yang sebulat-bulatnya dari segenap sidang untuk apa yang saya usulkan tadi itu.[18]

Pidato Soekarno ini akhirnya menyemangati anggta Badan Penyelidik untuk menerima secara bulat Undang-Undang Dasar sebagai hasil dari rancangan Panitia kecil yang diketuai oleh Soekarno. Kesepakatan ini merupakan sebuah kemenangan pihak Islam, sebab secara meyakinkan usul-usul yang merupakan kepentingan mayoritas dapat diterima. 

UUD 1945 Produk PPKI 

Kejatuhan Jepang yang menyerah pada kekuatan sekutu menjadi momentum yang sangat berarti bagi sejarah kemerdekaan Indonesia. Kesempatan itu dimanfaatkan oleh tokoh bangsa ini untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Keesokan harinya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang dibentuk tanggal 7 Agustus 1945 yang dipimpin oleh Soekarno sebagai ketua dan Mohammat Hatta sebagai wakil ketua mengadakan rapat. Pertemuan ini rencananya dimulai pada jam 09.30, akan tetapi belum juga dimulai hingga sampai jam 11.30.[19]

Jeda waktu selama dua jam tersebut ternyata masa yang teramat penting bagi sejarah Indonesia khususnya dalam kaitan konstitusi Indonesia. Waktu yang singkat itu digunakan oleh Muhammad Hatta untuk mengadakan loby dengan beberapa anggota PPKI mengenai konsep perubahan pada Pembukaan dan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar. Muhammad Hatta, sebelumnya (tepatnya sore hari 17 Agustus 1945) didatangi seorang opsir Jepang yang menyampaikan pesan dari golongan Protestan dan Katolik terutama dari Indonesia Timur agar menghilangkan tujuh kata pada Pembukaan Undang Undang Dasar. Mereka mengancam akan keluar dari Republik Indonesia apabila usul itu tidak diterima. Usul inilah yang kemudian menjadi pertimbangan Muhammad Hatta mengajukan usul perubahan sebagai berikut: 

1. Kata “Mukaddimah” diganti dengan kata ‘Pembukaan”. 

2. Dalam Preambule (Piagam Jakarta), anak-kalimat : “Berdasarkan kepada Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya “diubah menjadi ”berdasar atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”. 

3. Pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata” dan beragama Islam” dicoret. 

4. Sejalan dengan perubahan yang kedua di atas, maka Pasal 29 ayat 1 menjadi “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa”, sebagai pengganti “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.[20]

Usul perubahan yang diajukan Muhammad Hatta ini, nampaknya disetujui oleh rapat PPKI, meskipun melalui beberapa usul namun tidak mendapat pembahasan yang begitu berarti. 

Hanya beberapa jam kemudian, yakni jam 13,45, Panitia Persiapan menerima dengan bulat teks perubahan Preambule dan batang-tubuh Undang-Undang Dasar ini. Preambule dan batang-tubuh Undang-Undang dasar dengan beberapa perubahan ini dikenal luas sebagai ‘Undang-Undang Dasar 1945”.[21]

Persetujuan yang terburu-buru mengenai beberapa perubahan yang teramat penting dan kontroversial itu, akhirnya berbuntut pada sebuah pertanyaan besar yang sulit dijawab. Kejadian yang mengejutkan ini, tentu saja sangat mengecewakan bangsa Indonesia yang beragama Islam. 

Kekhawatiran akan terjadinya perpecahan jika keputusan tidak diubah, dianggap dapat dihindari dengan mengorbankan modus vivendi atau gentleman’s agreement antara pihak Islam dengan pihak kebangsaan. Bahaya pertama dianggap lebih berat daripada bahaya dikecewakannya golongan Islam. 

1 comments:

  1. Tentu saja bahaya pertama dianggap lebih berat karena apa pantas disebut Indonesia jika dikuasai mutlak oleh faksi Islam? Tindakan Bung Hatta sangat tepat dan bijak pada saat itu supaya tidak terjadi fenomena "Layu Sebelum Berkembang". Kini ketika pemimpin Indonesia dianggap lemah maka faksi Islam kembali menyemburkan perjuangan lawas.

    ReplyDelete