Powered by Blogger.

Friday, June 7, 2013

Amandemen Pasal 29 UUD 1945

UUD 1945 dikatakan sebagai konstitusi terpendek di dunia, karena isinya hanya memuat 37 pasal. Memang ada beberapa alasan mengapa disusun secara ringkas. Pertama, dimaksudkan agar ia tetap bertahan, mengikuti perkembangan zaman. Fleksibelitas ini dimungkinkan karena yang dianut hanyalah masalah-masalah pokok saja, sementara aturan-aturan operasional ditetapkan melalui undang-undang biasa dan peraturan yang lebih rendah. Kedua, mungkin saja singkatnya UUD 1945 disebabkan terbatasnya waktu yang digunakan untuk menyusun UD tersebut.[1]

Apapun masalahnya sejarah telah menunjukkan bahwa dalam praktek penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, UUD 1945 sebagai konstitusi telah melahirkan pemerintahan yang tidak diharapkan. Dalam UUD 1945 memang telah termuat ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan konstitusi, tetapi dalam prakteknya, sampai sejauh ini UUD 1945 hanya ditempatkan sebagai nilai yang bersifat nominal saja. Padahal, pmerintahan yang konstitusional bukanlah pemerintahan yang sekedar sesuai dengan bunyi pasal-pasal konstitusi, melainkan pemerintahan yang sesuai dengan bunyi konstitusi yang memang menurut esensi-esensi konstitusionalisme.[2] Atas dasar argumen ini, maka dengan momentum reformasi UUD 1945 harus diamandemen, karena ruh dan pelaksanaan konstitusinya jauh dari paham konstitusi itu sendiri. 

Amandemen UUD 1945 ini menjadi peluang bagi perjuangan partai-partai politik Islam untuk memunculkan kembali wacana memasukkan Piagam Jakarta. FPP dan FBB di MPR secara tegas memperjuangkan masalah ini[3] Isu amandemen pasal 29 UUD 1945 dan Piagam jakarta ini menjadi bagian yang kontroversial. 

Praksi PP mengusulkan redaksi pasal 29 UUD 1945 sebagai berikut : (1) negara berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa dengan berkewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya; (2) negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap pendduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya itu. Pada ayat (2) ini kata “kepercayaan” dihilangkan karena di masa lalu, kata-kata itu disalahtafsirkan dan disalahgunakan untuk menumbuhsuburkan aliran kepercayaan, dan dianggap bertentangan dengan maksud rumusan semula. (3) Negara melindungi penduduk dari penyebaran paham-paham yang bertentangan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.[4]

FPP menegaskan bahwa dengan usulan seperti ini, maka larangan terhadap komunisme dalam TAP Nomor XXV/MPRS/1966 yang semula di dalam UUD bersifat implisit, menjadi eksplisit. Dengan demikian di masa depan tidak ada lagi kontroversial TAP MPRS itu dengan UUD.[5]

Dalam sidang PAH I, pembahasan pasal 29 berjalan sangat seru dan cukup a lot, sehingga melahirkan empat alternatif. Alternatif pertama adalah tetap seperti rumusan lama. Kedua, berbunyi : negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Ketiga, berbunyi : negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban melaksanakan ajaran agama bagi masing-masing pemeluknya. Keempat, berbunyi: negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Terhadap alternatif ini F-PPP dan F-PBB memilih alternatif kedua. F-Reformasi dan F-PKB memilih alternatif ketiga, sisanya termasuk F-PDIP memilih alternatif pertama. 

Di luar saluran institusi-institusi politik isu Piagam Jakarta dalam amandemen pasal 29 UUD 1945, juga terdapat pro kontra antar beberapa kelompok masyarakat. Seperti FPI, Forum Komunikasi Ahlus Sunnah wal Jamaah, Majlis Mujahidin, PPMI, Ikatan Remaja dan Mahasiswa Jawa Barat dan lain-lain, mereka datang ke DPR untuk menyampaikan aspirasinya. 

Dari berkobarnya semangat amandemen, yang jelas bahwa amandemen terhadap pasal 29 UUD 1945 bisa dikatakan gagal. Gagal dalam kacamata golongan yang mengusulkan perubahan. Dengan kata lain pasal 29 UUD 1945 tetap pada rumusan semula. 
Sebuah Analisis 

Adanya perbedaan hasil antara UUD produk BPUPKI dengan produk PPKI mengakibatkan terpecahnya pandangan para pemimpin Indonesia menjadi dua kelompok. Kelompok pertama berpendapat bahwa setelah dicoretnya tujuh kata dari piagam Jakarta dan diganti menjadi Ketuhahan Yang Maha Esa berarti sistem Hukum Islam tidak otomatis berlaku di Indonesia. Hukum nasional di masa mendatang adalah hukum yang bahan-bahannya terdiri atas hukum Barat, hukum Adat, dan hukum Islam. Hukum Islam baru berlaku setelah diterima oleh hukum Adat dan tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.[6]

Kelompok kedua berpendapat bahwa norma dasar yang terkandung pada pasal 29 ayat 1 UUD 1945 yang terpenting ialah : 1) Negara RI berkewajiban menjalankan syari’at Islam bagi orang Islam, syari’at Nasrani bagi orang Nasrani dan syari’at Hindu bagi orang Hindu sepanjang penyelenggaraan syari’at itu memerlukan bantuan bagi kekuasaaan negara. 2) Syari’at agama yang dianut oleh masing-masing pemeluknya di Indonesia ini sepanjang dapat dilakukan oleh pemeluk agama yang bersangkutan biarlah oleh mereka masing-masing tanpa campur tangan kekuasaan negara. Makna yang dapat ditarik dari angka satu diatas adalah bahwa dalam negara RI ini tidak boleh diberlakukan hukum yang bertentangan dengan syari’at Islam bagi orang Islam, yang bertentangan dengan syari’at Nasrani bagi orang Nasrani, dan syari’at Hindu bagi orang Hindu.[7]

Kelompok pertama nampaknya berpaham tekstual, bahwa suatu negara berdasar Islam apabila konstitusi yang berlaku adalah Islam. Sementara kelompok kedua tidak melihat pada sisi ekspilit tekstual, tetapi dengan kata yang umum itu masih bisa dipahami bahwa syari’at Islam masih bisa berlaku secara konstitusional yang tidak terpisah dengan negara. 

Gagasan tentang dasar negara Islam yang dipromosikan oleh pendukungnya selama ini sesungguhnya paralel dengan perdebatan tidak resmi tentang Islam dan kebangsaan atau nasionalisme. Hal ini terlihat dari penolakan kelompok Islam terhadap konsep nasionalisme yang pernah dilontarkan Soekarno di awal kemerdekaan sebagai tidak sesuai dengan konsep nasionalisme Islam. Soekarno mendefinisikan nasionalisme sebagai “cinta kepada tanah air, kesediaan yang tulus untuk membaktikan diri dan mengabdi kepada tanah air, serta kesediaan untuk mengesampingkan kepentingan golongan yang sempit.[8] Konsep inilah yang mendasari Soekarno untuk setuju dengan usul-usul perubahan sehingga menghasilkan UUD prduk PPKI yang jauh berbeda dengan Produk BPUPKI, disamping pertimbangan keutuhan persatuan bangsa. 

Sementara itu kelompok Islam menganggap konsep nasionalisme Soekarno ini sebagai berlebihan, karena terkesan menyamakan posisi nasionalisme sejajar dengan agama. Jika pandangan ini dipakai maka terkesan menjadikan manusia sebagai budak yang menyembah tanah airnya dan berakhir dengan merusak tatanan tauhid. Karena itu Agus Salim menegaskan bahwa nasionalisme harus diposisikan dalam konteks pengabdian kepada Allah. Sejalan dengan pendapat ini, maka Islamlah prinsip yang harus didahulukan.[9]

Perdebatan-perdebatan ideologis yang konfrontatif dikalangan Islam dan nasionalis-sekuler ini sesungguhnya sangat bermakna positif apabila diarahkan seperti yang pernah terjadi di awal kemerdekaan. Karena berdebatan itu berlangsung benar-benar dalam rangka menggali konsep yang mendasar tentang bentuk Indonesia yang akan dibangun.. Akan tetapi dalam kondisi sekarang, wacana yang dibentuk lebih bernuansa pada komoditi politik pragmatis. Cara-cara yang dipakai sering tidak simpatik, berbau kekerasan dan inkonstitusional di kalangan pendukung Islam itu sendiri. Beberapa partai misalnya, sering berargumentasi secara tidak matang dan sembunyi-sembunyi. Tidak mengemukakan argumentasi filosofis dan teoritis dan mengesampingkan ideologinya ketika dihadapkan pada situasi yang mengharuskan kompromi politik. 

Kalau dilihat dari peta politiknya, fenomena sekarang ini sebenarnya merupakan kilasbalik dari sejarah politik Orde Lama. Meskipun isu politik yang dikemas oleh parta-partai Islam tidak persis sama dengan masa lalu, namun orientasi yang bernuansa masa lalu hampir tak bisa dipungkiri. Masih ada keinginan agar Islam menjadi ideologi dan dasar negara Indonesia. Keinginan seperti ini adalah sah dalam iklim demokrasi. Hanya saja ada beberapa hal yang perlu menjadi bahan pertimbangan. Pertama, perlu disadari bahwa Islam tidak seharusnya melebur secara total dengan negara. Sebab kalau itu terjadi maka Islam juga akan mempunyai watak yang sama dengan negara, yakni watak, hegemoni, menguasai, memaksa dan terkadang refresif, padahal Islam tidak mempunyai watak seperti itu. 

Kedua, akan sulit membedakan batas wewenang antara negara dengan agama, sebab agama banyak mengatur yang bersifat individual, seperti shalat, haji dan puasa. Tidak mungkin negara dapat memenjarakan umat Islam karena tidak shalat, atau karena tidak puasa atau tidak berjilbab. Ketiga, apapun konsep Islam tentang negara sewajarnyalah kalau didialogkan dan dinegosiasikan dengan konsep lain dari manapun datangnya. Apabila tiga hal ini dapat diclearkan, maka aspirasi tentang negara islam menjadi wajar. Akan tetapi apabila ditempuh dengan jalan yang dipaksakan, justeru akan menimbulkan ketegangan yang terus menerus. 


Penutup 

Dari uraian yang dikemukakan terdahulu dapat disimpulkan sebagai berikut : 

1. Sudah ada usaha dan perjuangan dari kalangan Islam untuk menjadikan negara Indonesia dengan dasar Islam, terutama dengan memperjuangkan masuknya kewajiban melaksanakan syariat Islam secara konstitusional dalam UUD, termasuk perjuangan itu pada saat UUD diamandemen. Tetapi usaha ini masih terhalang oleh pertimbangan toleransi dengan agama lain yang masih ingin bersatu di negara Republik Indonesia. 

2. Kegagalan usaha itu tidak berarti syari’at Islam kehilangan legetimasi dalam konstitusi nasional. Meskipun harus melalui proses aturan tertentu hukum Islam secara lembaga masih bisa berlaku secara konstitusional, seperti lahirnya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, Undang-Undang Zakat, Undang-undang tentang Baan Peradilan Islam dan lain-lain. 

Untuk itu dapat disarankan bahwa apabila amandemen UUD terus digulirkan, dan kelompok Islam masih berharap masuknya Piagam Jakarta ke dalam UUD khusunya pasal 29, perlu adanya kesiapan yang matang bagi umat Islam. 

0 comments:

Post a Comment